Andai Saja Berbahagia Itu Bisa Diraih Semudah Cukup Dengan Mengingatnya

Baik di Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, SMS, atau lainnya, saya yakin kita semua sudah terpapar dengan kalimat semacam: “Jangan lupa bahagia!”. Kalimat yang dimaksudkan sebagai kalimat motivasional, tentu saja. Dan sebagaimana dengan kalimat motivasional pada umumnya, kalimat tersebut menurut saya hanyalah omong kosong belaka.

Kata bahagia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring diterjemahkan sebagai kata benda yang berarti keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Sedangkan berbahagia digolongkan sebagai kata sifat yang berarti dalam keadaan bahagia atau menikmati kebahagiaan. Lantas, apa bentuk kata kerja yang mengandung unsur bahagia? Membahagiakan, yang diterjemahkan dengan menjadikan (membuat) bahagia atau mendatangkan kebahagiaan.

Saya pribadi masih menerjemahkan bahagia adalah kondisi seseorang yang tidak sempat menanyakan apakah dirinya tengah berbahagia atau tidak, tanpa perlu sengaja menyibukkan diri untuk menghindari segala gundah gulana di hati.

Lalu, apakah benar kita harus berbahagia dalam hidup? Menurut saya sih tidak. Bagi saya, hidup adalah perihal kita menjalani peran. Dan idealnya, kita menjalani peran dengan penuh penghayatan secara penuh tanggung jawab dan keseriusan. Apapun peran kita di dunia.

Tidak semua harus menjadi presiden, orang tua, anak yang masih bisa berjumpa dengan orang tuanya, atau menjadi seperti yang dicita-citakan sejak bangku sekolah. Ada yang bilang bahwa derajat tertinggi seseorang adalah ketika dia bisa memberi manfaat sebanyak mungkin kepada lingkungan sekitarnya. Ada juga yang beranggapan bahwa berusaha untuk tidak menjadi bagian dari masalah, adalah bukti kualitas manusia yang baik. Dan dalam menjalankan peran, menurut saya, tidak ada hubungannya dengan berbahagia ataupun tidak.

Ada kawan yang omzet usahanya turun, tetapi sama sekali tidak menjadikannya orang yang abai dalam menjaga keamanan lingkungan tempat dia tinggal dengan ikut melaksanakan siskamling dengan sungguh-sungguh. Ada juga orang yang patah hati karena penghianatan cinta, tetapi tetap berusaha agar hal tersebut tidak mengganggu kinerjanya sebagai seorang anak yang masih menjadi pelajar. Dan sebagainya.

Makanya, bagi saya itu aneh ketika saya diminta untuk tidak lupa untuk bahagia. Bahagia itu bukan kata kerja seperti membuang sampah atau menyiram toilet selepas buang hajat. Saya tentu bisa lupa untuk membuang sampah karena asyik main gawai, juga bisa lupa tuk menyiram sisa kotoran saya sendiri karena buru-buru hendak kembali mengikuti rapat via Zoom.

Saya bisa lupa memperpanjang langganan internet saya, yang berujung saya bermuram durja di dalam rumah tak tahu harus apa. Saya bisa alpa untuk memasukkan sisa makanan ke lemari pendingin sehingga basi di keesokan harinya, dan membuat saya kesal karena itu makanan kesukaan dan sukar untuk mendapatkannya.

Kemudian saya bisa pergi ke ATM guna membayar tagihan internet sembari bersepeda, meminta kawan tuk mengirimkan makanan kesukaan ke kota tempat saya tinggal, dan menikmati sisa hari dengan perasan senang dan berbahagia. Tapi tentu saja saya tidak bisa secara ujug-ujug, tiba-tiba berbahagia. Saya tidak bisa ketika sedih, langsung membalikkan perasaan menjadi bahagia.

Bahkan, saya bisa bepergian jauh mengunjungi banyak tempat wisata, mendatangi tempat pesta yang terkenal, menjalin hubungan istimewa dengan banyak orang, menyantap makanan enak lagi mewah, meminum minuman yang memabukkan, atau melakukan kegiatan yang secara umum menyenangkan, tetapi tetap tidak merasa berbahagia. Di penghujung hari, saya hanya kelelahan lahir dan batin, dan kehabisan uang.

Dari sana saya berpikir bahwa bersenang-senang tidak sama dengan berbahagia. Bersenang-senang mungkin saja merupakan upaya untuk berbahagia, namun seperti upaya lainnya, bisa berhasil, bisa pula gagal.

Orang bisa berbahagia meski tidak merencanakan untuk berbahagia. Bisa juga berakhir pada kekecewaan akan kegagalan rencananya untuk meraih kebahagiaan. Atau lupa menjalankan rencana agar meraih kebahagiaan, tetapi tetap berujung pada kebahagiaan yang dibayangkan sebelumnya saja tidak.

Hal-hal di atas yang meyakinkan saya bahwa orang tidak lantas akan berbahagia hanya karena ingat tentang ‘kewajiban’ untuk berbahagia. Hidup memang melelahkan, tak perlu rasanya untuk menambah penat dengan mewajibkan diri untuk berbahagia. Takutnya, sudah jungkir balik ngalor-ngidul-ngetan-ngulon, eh kebahagiaan tak kunjung diraih.

Untuk pembaca tulisan ini, terlepas bahagia atau tidak, teruslah hidup dan berjuang semampu kalian. Berjuanglah atas apa yang kamu yakini, bertahanlah atas segala cobaan. Soal kebahagiaan, anggap saja bonus, itupun jika ada. Orang yang berbahagia dan tidak itu sama-sama butuh makan, minum, tidur, eek, dan lain-lainnya.

Jangan memaksakan diri untuk berbahagia!

Tinggalkan komentar