Arsip

Author Archives: kalangkabut

Kemarin aku kehujanan saat bersepeda. Yang berujung tenggorokanku seperti dihuni sekumpulan salak yang belum dikupas. Mungkin salak pondoh, tak penting. Namun entah apa yang hendak kusampaikan ini penting ataupun tidak. Yang pasti, ketika hujan mengguyurku, ketika riak air menciprati wajahku setelah terlempar dari deru roda yang tak dibungkus sepatbor, aku seperti terlempar pindah ruang dan waktu.

Aku tidak lagi berada di tepat dan di waktu aku tengah berada saat itu. Bagaimana ya menjelaskan keberadaanku tanpa menyebutkan tempatnya? Intinya aku tiba-tiba saja merasa berpindah ruang dan waktu, tak lagi berada di tempatku yang sebelumnya, dan aku merasa kembali menjadi anak-anak. Namun tetap bersepeda. Aku tengah mengayuh sepeda pemberian bapak yang berwarna hijau, berat dan menurutku bermodel sepeda perempuan. Yang kumaksud bermodel sepeda perempuan itu juga menurut teman-temanku saja. Aslinya aku baru tahu, ada sepeda berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Sepedaku itu besi melintang bagian atasnya tidak lurus horisontal dan menghalangi selangkangan seperti sepeda teman-temanku yang lain. Ia miring hampir seirama dengan besi bagian bawahnya. Mungkin agar mudah bagi perempuan yang memakai rok untuk dapat bersepeda, demikian fantasiku. Sepedaku ini berat. Dan memalukan.

Semakin kukayuh, semakin benci rasanya. Aku menduga, bapak memilihkanku sepeda ‘berkelamin’ perempuan ini karena aku tak cukup tinggi, sehingga dia khawatir aku kesulitan bersepeda dan berujung menyerah. Aku juga menduga, otak sederhana bapak berpikir bahwa sepeda yang bagus itu terbuat dari besi. Besi itu berat. Maka sepeda yang bagus itu yang berat. Entahlah, aku suka memikirkannya demikian. Aku selalu menganggap otak bapak dan ibu itu terlampau sederhana sehingga sering tertinggal zaman. Tidak sepertiku. Begitu jumawaku.

Tunggu, aku ingin bercerita soal hujan, bukan tentang sepeda, apalagi tentang bapak ibuku. Ingatanku membawaku ke sebuah bus antar kota antar provinsi, terminal Lebak Bulus tujuannya. Iya, dulu ada terminal itu. Perusahaan otobus ini merupakan perusahaan transportasi penguasa provinsiku, tuajuannya tentu saja ibu kota. Aku menaiki bus ini karena aku diterima di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, dan dengan cuek aku berangkat ke sana sendirian tanpa pengalaman. Hanya berbekal secarik kertas bertuliskan alamat saudara dari ibu lengkap dengan nomor-nomor angkot yang harus kunaiki, dan nomor telepon seluler, jaga-jaga aku membutuhkannya.

Kertas itu aslinya kusimpan di dompet. Tak ada cadangan apalagi upaya lebih untuk menghafalkannya. Aku yang sekarang tentu menertawakan kebodohan macam itu. Betapa naif dan dungunya. Seolah tak akan ada hal buruk yang bisa dan akan terjadi padamu, Anak Muda! Di luar bus, hujan cukup deras, membuatku berpikir bagimana nasib bapak yang mengantarkanku ke terminal dengan sepeda motor 2 tak kesayangannya itu? Aku kenal betul lelaki itu. Jika hujan, dia merasa terlalu jantan untuk memakai payung, atau memakai jas hujan jika tengah bersepeda motor. Dia yang dulu adalah aku sekarang.

Bulir-bulir hujan di dinding kaca jendela bus mengalir ke bawah dan entah bagaimana caranya, tetap tidak dalam aliran yang lurus. Seperti sungai tanpa bantarannya. Dia mengalir laju, lalu tiba-tiba berbelok, berpencar, dan lalu habis begitu saja. Butiran air itu akhirnya habis oleh petualangannya sendiri di atas kaca jendela. Pernah kuberpikir bahwa sungai di atas jendela kaca itu betulan bertingkah seperti tanah dan air sungguhan. Airnya meresap menelusup masuk ke dalam kaca. Imajinasi konyol tentu saja. Tapi zaman itu belum ada gawai elektronika yang bisa kupakai untuk menyibukkan pikiranku.

Sementara udara di dalam bus menjadi sangat dingin. Aslinya, pendingin udara bus ini biasa-biasa saja. Ini tentu saja ada kaitannya dengan selisih tarif karcisnya yang tak berbeda jauh dengan kelas ekonomi. Tak dingin, tetapi mampu menimbulkan ilusi seolah pihak bus menyediakan pendingin udara nomor wahid. Dan hujan kali ini sukses membuat udara di dalam bus betulan dingin luar biasa. Ditambah, lubang pendingin udara di atasku bocor, membuatnya meneteskan air sedingin es tepat persis di atas ubun-ubunku. Aku berharap aku memakai topi kala itu, tapi aku sudah berhenti memakai topi begitu lulus SMA. Aku sudah mulai bsia menerima rambutku yang ikal, yang sering jadi olok-olok, dengan tak lagi menutupinya dengan topi. Sial.

Namanya juga bus malam, lampu penerangan di dalam tentu dimatikan ketika mulai melakukan perjalanannya menembus malam. Dan seperti perjalanan manapun, segelap dan segulita apapun kendaraan kita, tetap saja ada cahaya yang memancar dair luar. KIta bisa terganggu karenanya, atau malah bisa bernafas lega atas kehadirannya. Bagiku, remang cahaya dari pinggiran jalan pantura ini bisa membuatku menjadi pelukis. Dengan kaca jendela bus sebagai kanvasnya. Akulah Affandi, akulah Raden Saleh. Dan aku sibuk menggambar simbol-simbol entah apa yang ajaibnya bisa mengerucutkan ingatan pada seorang gadis yang kutinggalkan beberapa waktu silam, cinta monyetku.

Ketika bus bersua lampu merah yang mengharuskannya berhenti, kulihat di luar jendela, air hujan seperti dimuntahkan langit dan dihempaskan gravitasi membentur aspal, tanah, atau genangan air pinggir jalan. Seperti anak-anak katak yang berlatih melompat, ujarku dalam hati. Percikan-percikannya kuanggap anak-anak kata yang sedang melompat sejak aku kecil. Bahkan aku yakin aku punya fantasi air hujan menjelma katak ini sejak kelas 2 atau kelas 3 bangku sekolah dasar. Waktu itu aku sedang bermain di rumah kawanku. Rumah milik sekolah tempatku menimba ilmu. Temanku ini anak dari seorang penjaga sekolah. Sore itu hujan deras berlangsung lama sehingga membuat lelah para penghuni rumah hingga lalu memutuskan untuk berbaring dan tidur. Aku sendirian memandang kaca jendela rumah bagian depan jauh ke jalan raya dengan lalu lalangnya.

Seperti katak, kataku dari balik jendela rumah temanku. Seperti katak, ujarku dari balik jendela bus. Seperti katak, kata batinku sambil terus mengayuh sepedaku. Seper… tunggu, kalian dengar ada suara seperti memanggil-manggil seseorang? Itu… dengar, kan? Jelas sekali suaranya…

“Ayah!”, panggil suara itu.

Baik di Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, SMS, atau lainnya, saya yakin kita semua sudah terpapar dengan kalimat semacam: “Jangan lupa bahagia!”. Kalimat yang dimaksudkan sebagai kalimat motivasional, tentu saja. Dan sebagaimana dengan kalimat motivasional pada umumnya, kalimat tersebut menurut saya hanyalah omong kosong belaka.

Kata bahagia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring diterjemahkan sebagai kata benda yang berarti keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Sedangkan berbahagia digolongkan sebagai kata sifat yang berarti dalam keadaan bahagia atau menikmati kebahagiaan. Lantas, apa bentuk kata kerja yang mengandung unsur bahagia? Membahagiakan, yang diterjemahkan dengan menjadikan (membuat) bahagia atau mendatangkan kebahagiaan.

Saya pribadi masih menerjemahkan bahagia adalah kondisi seseorang yang tidak sempat menanyakan apakah dirinya tengah berbahagia atau tidak, tanpa perlu sengaja menyibukkan diri untuk menghindari segala gundah gulana di hati.

Lalu, apakah benar kita harus berbahagia dalam hidup? Menurut saya sih tidak. Bagi saya, hidup adalah perihal kita menjalani peran. Dan idealnya, kita menjalani peran dengan penuh penghayatan secara penuh tanggung jawab dan keseriusan. Apapun peran kita di dunia.

Tidak semua harus menjadi presiden, orang tua, anak yang masih bisa berjumpa dengan orang tuanya, atau menjadi seperti yang dicita-citakan sejak bangku sekolah. Ada yang bilang bahwa derajat tertinggi seseorang adalah ketika dia bisa memberi manfaat sebanyak mungkin kepada lingkungan sekitarnya. Ada juga yang beranggapan bahwa berusaha untuk tidak menjadi bagian dari masalah, adalah bukti kualitas manusia yang baik. Dan dalam menjalankan peran, menurut saya, tidak ada hubungannya dengan berbahagia ataupun tidak.

Ada kawan yang omzet usahanya turun, tetapi sama sekali tidak menjadikannya orang yang abai dalam menjaga keamanan lingkungan tempat dia tinggal dengan ikut melaksanakan siskamling dengan sungguh-sungguh. Ada juga orang yang patah hati karena penghianatan cinta, tetapi tetap berusaha agar hal tersebut tidak mengganggu kinerjanya sebagai seorang anak yang masih menjadi pelajar. Dan sebagainya.

Makanya, bagi saya itu aneh ketika saya diminta untuk tidak lupa untuk bahagia. Bahagia itu bukan kata kerja seperti membuang sampah atau menyiram toilet selepas buang hajat. Saya tentu bisa lupa untuk membuang sampah karena asyik main gawai, juga bisa lupa tuk menyiram sisa kotoran saya sendiri karena buru-buru hendak kembali mengikuti rapat via Zoom.

Saya bisa lupa memperpanjang langganan internet saya, yang berujung saya bermuram durja di dalam rumah tak tahu harus apa. Saya bisa alpa untuk memasukkan sisa makanan ke lemari pendingin sehingga basi di keesokan harinya, dan membuat saya kesal karena itu makanan kesukaan dan sukar untuk mendapatkannya.

Kemudian saya bisa pergi ke ATM guna membayar tagihan internet sembari bersepeda, meminta kawan tuk mengirimkan makanan kesukaan ke kota tempat saya tinggal, dan menikmati sisa hari dengan perasan senang dan berbahagia. Tapi tentu saja saya tidak bisa secara ujug-ujug, tiba-tiba berbahagia. Saya tidak bisa ketika sedih, langsung membalikkan perasaan menjadi bahagia.

Bahkan, saya bisa bepergian jauh mengunjungi banyak tempat wisata, mendatangi tempat pesta yang terkenal, menjalin hubungan istimewa dengan banyak orang, menyantap makanan enak lagi mewah, meminum minuman yang memabukkan, atau melakukan kegiatan yang secara umum menyenangkan, tetapi tetap tidak merasa berbahagia. Di penghujung hari, saya hanya kelelahan lahir dan batin, dan kehabisan uang.

Dari sana saya berpikir bahwa bersenang-senang tidak sama dengan berbahagia. Bersenang-senang mungkin saja merupakan upaya untuk berbahagia, namun seperti upaya lainnya, bisa berhasil, bisa pula gagal.

Orang bisa berbahagia meski tidak merencanakan untuk berbahagia. Bisa juga berakhir pada kekecewaan akan kegagalan rencananya untuk meraih kebahagiaan. Atau lupa menjalankan rencana agar meraih kebahagiaan, tetapi tetap berujung pada kebahagiaan yang dibayangkan sebelumnya saja tidak.

Hal-hal di atas yang meyakinkan saya bahwa orang tidak lantas akan berbahagia hanya karena ingat tentang ‘kewajiban’ untuk berbahagia. Hidup memang melelahkan, tak perlu rasanya untuk menambah penat dengan mewajibkan diri untuk berbahagia. Takutnya, sudah jungkir balik ngalor-ngidul-ngetan-ngulon, eh kebahagiaan tak kunjung diraih.

Untuk pembaca tulisan ini, terlepas bahagia atau tidak, teruslah hidup dan berjuang semampu kalian. Berjuanglah atas apa yang kamu yakini, bertahanlah atas segala cobaan. Soal kebahagiaan, anggap saja bonus, itupun jika ada. Orang yang berbahagia dan tidak itu sama-sama butuh makan, minum, tidur, eek, dan lain-lainnya.

Jangan memaksakan diri untuk berbahagia!

Beberapa hari lalu, saya mendapatkan kabar bahwa Ravacana Film, sebuah rumah produksi bermarkas di kota Yogyakarta akan merilis karya baru pada tanggal 15 Maret, dan kali ini bekerja sama dengan Netflix Indonesia. Bagi yang tidak familiar, mereka adalah rumah produksi yang sama yang sudah menghasilkan film Nilep (2015, Wahyu Agung Prasetyo), Singsot (2016, Wahyu Agung Prasetyo), Anak Lanang (2017, Wahyu Agung Prasetyo), dan tentu saja film yang sempat membuat ramai jagat maya; Tilik (2018, Wahyu Agung Prasetyo) dengan tokoh fenomenal bernama Bu Tejo.

Sejak mengenal kanal Youtube milik rumah produksi Ravacana Films, saya merasa bahwa mereka itu benar-benar sukses menjalani ‘jalan ninja’ yang sesungguhnya dengan prinsip “Think globally, act locally”. Tanpa malu-malu, mereka percaya diri menghasilkan karya-karya bercita rasa lokal. Tak hanya menghadirkan film pendek berbahasa Jawa (tentu saja ada subtitle-nya), tema yang diangkat pun sangat lokal yang mungkin sudah tidak akan dapat ditemui oleh orang-orang Jawa yang merantau atau yang tinggal di daerah peralihan desa-kota, pseudo-urban barangkali.

Contohnya Tilik (2018), yang menceritakan sekumpulan ibu-ibu yang naik truk angkutan untuk menjenguk tetangga yang tengah sakit dirawat di rumah sakit jauh dari desa mereka. Meski temanya familiar, saya sendiri sudah tidak lagi menjumpai hal tersebut di lingkungan tempat tinggal saya. Menjenguk orang sakit kini lebih personal, datang sendiri dengan naik mobil pribadi atau paling tidak sepeda motor. Mungkin karena sudah pada lebih sibuk atau memang tidak lagi terbiasa untuk melakukan hal tersebut secara bergerombol. Setidaknya itu menurut saya.

Karena itu, ketika akun Twitter milik Ravacana Films memberitahukan akan merilis sebuah film pendek berjudul Nyengkuyung, saya merasa tidak sabar untuk lekas menontonnya dengan beberapa alasan. Pertama, filmnya akan dapat diakses secara gratis di kanal YouTube milik Netflix Indonesia. Kedua, karena karya kali ini bekerja sama dengan Netflix Indonesia, yang dalam bayangan saya, akan menjadi karya yang memiliki kualitas lebih, baik dari sisi cerita maupun sinematografinya. Jangan salah paham, selama ini Ravacana Films itu memang sudah menghasilkan karya yang berkualitas bagus, tetapi jika dimodali Netflix tentu dapat dibayangkan bukan akan bagaimana hasilnya?

Tanggal 16 Maret, akhirnya film Nyengkuyung diunggah dan dapat ditonton secara gratis. Telat sehari, memang. Tapi tak masalah. Dengan semangat dan perasaan membuncah di dada seperti hendak bersua kekasih lama, saya menontonnya melalui layar ponsel saya berbekal penyuara telinga.

Banyak sekali hal yang dibahas film ini yang bagi saya sangat menarik untuk dibahas dan dipikirkan. Di awal film digambarkan Pak Surat (Pritt Timothy) yang gagap teknologi atau gaptek, tetapi tidak mau menyerah begitu saja dengan keadaan dan ingin tetap eksis di era media sosial.

Pak Surat ini mengalami sindrom pasca lengser dari jabatan ketua RT, sehingga benci dengan Pak Hari, ketua RT yang baru. Selain itu ada tokoh perwakilan anak muda, Krisna dan Herman yang menertawakan ke-gaptek-kan Pak Surat, yang sejatinya menggambarkan bagaimana generasi muda merasa risih dengan golong tua yang dianggapnya kuno dan ketinggalan jaman. Beda jaman dan usia ini memang rumit di hadapan teknologi, kalaupun ada generasi sepuh yang tertarik belajar mengejar ketertinggalan, generasi mudanya belum tentu mau mengajari. Kalaupun awalnya mau, belum tentu sabar. Banyak kan yang geregetan mengajari orang tuanya sekadar untuk menggunakan ponsel layar sentuh?

Akhirnya, generasi muda menertawakan orang-orang tua yang tertinggal jaman menjadi hal lumrah, bahkan tak jarang menjadikannya sebagai konten.

Ada juga tokoh Klawu, penjaga warung angkringan, yang dengan gaya anak muda, mengerjai Pak Surat dengan menceritakan bahwa di sekitar sanggar sering tercium bau kemenyan, dan tiap kali lewat sana, Klawu mengaku sering bergidik ketakutan, merasakan kehadiran makhluk yang tak kasat mata.

Apa yang dilakukan Klawu ini tentu saja gambaran anak-anak masa kini yag sering melakukan kelakar dan sering menganggapnya sebagai ‘prank’. Kelakar ini seringkali memakan korban dan menjadi masalah besar karena miskomunikasi, seperti yang digambarkan film ini.

Pak Surat yang sejak awal tidak suka dengan pemerintahan Pak Hari sebagai RT baru, dan pernah menemukan bekas bakaran kemenyan dan kembang, ketambahan dengan informasi dari Klawu, langsung naik darah menganggap sanggar telah digunakan untuk hal-hal klenik. Pak Surat akhirnya mengamuk di sanggar yang saat itu dipakai untuk membuat video karawitan, dengan Krisna dan Herman bersama Pak Hari ada di sana.

Ini menggambarkan juga tentang mudahnya berita hoaks, baik yang dimaksudkan untuk serius membohongi maupun yang awalnya hanya guyonan, dapat menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat.

Meski nampak klise, cara Pak Hari menghadapi kemarahan Pak Surat itu sangat bagus, dan seyogianya memang harus demikian bagi pemerintah/atasan ketika menghadapi kemarahan warga/bawahan. Pak Hari tidak ikut marah, meski dia tidak bersalah. Tidak akan ada hal baik yang dihasilkan dari dua pihak yang marah.

Di bagian menjelang akhir film, penonton diberi tahu bahwa ide brilian Pak Surat itu ternyata sama dengan yang sedang dilakukan oleh para pemuda, dimpimpin oleh Pak Hari. Di keseharian kita sering mendapati hal yang begini di masyarakat. Di mana tokoh yang disegani, merasa harus mengeksekusi sendiri ide yang dimilikinya, tanpa perlu bermusyawarah terlebih dahulu.

Saya merasa bernostalgia dengan adegan Krisna dan Herman yang mengumpulkan jimpitan. Jimpitan adalah sistem keamanan lingkungan yang dilakukan penduduk desa pada jaman dulu. Sekarang pun masih ada di beberapa daerah. Jadi di setiap rumah penduduk, dibuat sebuah tempat kecil digantung di tembok, yang setiap malam harus diisi dengan sejumput beras dalam plastik, atau uang, yang kemudian dikumpulkan oleh para peronda. Jimpitan itu pada akhirnya menjadi semacam upah bagi peronda. Cara ini efektif, karena peronda tidak tinggal diam di pos saja.

Oh iya, Krisna dan Herman yang menjadi wakil generasi muda ini selain melek dengan kemajuan jaman, tetap percaya dan ketakutan dengan hantu. Bisa jadi pembuat filmnya ingin berkata bahwa antara generasi tua dan muda tetap ada jembatan yang seharusnya bisa mempertemukan keduanya.

Soal kemenyan atau dupa yang diributkan Pak Surat semakin menguatkan pendapat saya soal itu. Ternyata dupa tersebut dibakar karena dipercaya dapat mencegah turunnya hujan, yang suaranya dapat mengganggu proses rekaman gamelan.

Saya tidak akan membahas film ini dari sisi sinematografi, murni karena saya tidak punya pengetahuan apa-apa soal itu. Namun bisa dibilang, mata saya dimanjakan oleh tiap adegannya. Akting masing-masing pemeran juga meyakinkan, meskipun banyak adegan yang mengharuskan mereka menggunakan masker wajah, mengingat film ini dibuat dan menggambarkan masa pandemi Covid 19.

Justru itu hal yang patut diacungi jempol bagi saya. Banyak tayangan yang diproduksi saat pandemi menggambarkan para tokoh tidak menggunakan masker, dengan alasan sudah sesuai dengan protokol kesehatan. Tayangan visual itu sangat meracuni otak pemirsanya. Kesediaan mengenakan masker sedikit demi sedikit dapat terkikis dengan menyaksikan tayangan yang tidak patuh dengan protokol kesehatan tersebut.

Lagian, akting yang dilakukan menggunakan masker wajah tetap bisa dirasakan emosinya kok. Persis dengan ketika kita beraktifitas sehari-hari memakai masker. Jempol dua untuk ini.

Hal yang sedikit mengganjal bagi saya adalah adegan konflik dan penyelesaiannya yang bagi saya terasa terlalu singkat dan terkesan buru-buru. Bagaimanapun Pak Surat sudah lama memendam bara dengan Pak Hari, ditambah dengan post power syndrome yang dideritanya, maka menurut saya ketika Pak Surat diberi penjelasan oleh Pak Hari, Krisna, Herman, dan Klawu, kecederungannya Pak Surat tidak serta merta mau menerima penjelasan tersebut. Seperti halnya yang biasa kita lihat di lapangan, orang yang telanjur marah akan gengsi untuk mengakui kesalahannya.

Eh, seingat saya Pak Surat juga tidak minta maaf atas segala tuduhannya sih. Klasik. Habis ini saya mau mengingatkan anak-anak saya untuk terus-menerus membiasakan diri dengan tiga ucapan ajaib: tolong, terima kasih, dan maaf.

Nyengkuyung, kata yang berasal dari bahasa Jawa ini dapat diartikan dengan berpartisipasi, bergotong royong, atau mendukung. Dan semangat itu nampak jelas di tiap tokoh film ini, apapun motivasi di belakangnya. Dan itu akan berantakan ketika terjadi kesalahpahaman dan pertikaian.

Film-film Ravacana Films bagi saya justru menggambarkan realita. Pak Surat tidak merasa salah, hanya merasa sebagai korban disinformasi. Dan seperti Bu Tejo di Tilik (2018), tidak ada ucapan maaf, lalu hidup berlaku seperti biasa. Anggap tak ada apa-apa. Abaikan bara jika tak terinjak, katanya.

Tunggu, apa film ini sejatinya merupakan otokritik kondisi bangsa ini? Cialat! Nggak ah. Bangsa ini baik-baik saja dan akan selalu begitu. Saya saja yang kejauhan mikir.

Terima kasih, Netflix dan Ravacana Films. Suwun.

Dan buat kalian yang belum nonton, ini filmnya:

Nyengkuyung (2021)

Hidupku tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat seketika, mana kala kulihat dia pada suatu pagi persis saat kuberlari menuju kantorku di jalanan yang dibalut rinai gerimis pagi. Dari lautan manusia di komplek perkantoran tempatku bekerja, pandanganku terpaku pada sosok yang berani taruhan, dapat kukenali dari ribuan kilo meter. Iya, ini hiperbola, peduli setan!

Langkahku terhenti, padahal sosok yang kulihat tadi sudah hilang ditimpa manusia-manusia yang sama buru-burunya menuju tujuan mereka masing-masing. Kupikir, jika aku tak melakukan kegiatan lain, seperti berlari yang tadi kulakukan, maka otakku bisa bekerja lebih keras. Wajah perempuan itu sangatlah familiar, tapi kenapa aku kesulitan mengingat siapa dia?

Lamunanku buyar ketika sensasi basah mulai menelusup masuk ke bajuku menembus jaket berbahan kanvas yang sama sekali tidak membantuku berlindung dari hujan. Sudah tahu musim hujan, kenapa pula aku masih bersikeras untuk memakai jaket kesukaanku ini?

Setibanya di kantor, aku langsung melakukan presensi, absensi kalau kata orang kebanyakan, yang aku sendiri sudah lelah membetulkan istilah itu di antara teman-temanku. Eh, sebentar, kalian tidak keberatan bukan mengikuti alur berpikirku yang kesana kemari ini? Tahan-tahan, ya! Oke, kulanjutkan ceritaku.

Pada saat kujemur jaket basahku di ruang samping pantry, akhirnya otakku sukses mengingat-ingat siapa gerangan wanita yang kulihat tadi. Dia, mantan pacarku.

Dulu kami berpacaran saat kami sama-sama masih kuliah. Semesta mempertemukan kami di sebuah acara seminar akademik yang menggabungkan beberapa kampus sekaligus. Seperti kisah remeh sinetron kejar tayang, aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali mataku melihat dirinya. Perempuan manis dalam busana celana jins ketat lagi belel, kaos berkerah warna merah muda, dan jaket almamater kampusnya. Aku lupa apa sepatu yang dikenakannya, tapi kalian bisa lihat kan betapa brengseknya otakku, karena begitu berhasil mengingat siapa dia, kenangan mampu dihadirkan secara detil. Trembelane!

Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi kerja pada hari itu. Jika biasanya fokusku mudah terganggu, maka kali ini konsentrasiku benar-benar hancur lebur. Banyak pertanyaan menyeruak dengan cepat di dalam pikiranku. Persis jika komputer kalian tidak dipasangi pemblokir iklan, lalu kalian mengunjungi situs yang penuh iklan berwujud pop up. Bagaikan ninja warna-warni, tanda tanya meloncat dengan gesit, kenapa dia ada di sini? Bukankah dia sudah menikah? Jangan-jangan dia bekerja di sini juga, tapi di kantor apa? Dia bekerja atau main menengok temannya? kenapa aku begini?

Setan alas! Sudah enam tahun kami tidak saling berkomunikasi. Berkawan di media sosial pun tidak. Maksudku, buat apa? Aku tak mau menjadikan kegiatan mengingat-ingat mantan pacar sebagai sebuah ritual yang rutin kulakukan ketika aku membuka sosial media. Seolah akan ada hal positif yang bisa muncul dengan aku mengunjungi akun milik mantan pacar yang telah menghancurkan perasaanku dulu. Iya, kan?

Itulah mengapa bertahun lalu aku abaikan permintaan pertemanan di akun-akun sosial mediaku dari mantanku itu. Toh, buktinya aku baik-baik saja hingga sekarang. Dan yang kumaksud dengan baik-baik saja itu bukan yang mentereng, cemerlah dan hebat luar biasa. Bukan begitu, tapi aku masih bisa hidup dan beraktifitas. Dan itu yang penting.

Ternyata aku masih bernafas, meski dulu sempat punya pikiran bahwa aku takkan bisa hidup tanpanya. Aku masih bisa bersenang-senang dan menjalankan beberapa hobiku, walau dulu aku pernah punya anggapan bahwa hidupku kelar ketia dia meninggalkanku dan memilih pria lain sebagai calon pendamping hidupnya.

Memang sih banyak rencana dalam hidupku yang harus diubah, disesuaikan kalau kata teman-teman. Agar rencana yang semula hanya bisa terlaksana bersama mantanku itu, dapat diupayakan sendirian. gaya hidupku pun berubah, tiga tahun pacaran bukanlah waktu yang singkat. Disadari atau tidak, kehadirannya mempengaruhi sikap dan perangaiku. Sehingga ketika dia pergi dari hidupku, aku sempat membenci diriku karena banyak hal dari diriku yang mengingatkanku tentang dia.

Dan kini, sembilan tahun sejak kejadian yang meluluhlantakkan kepercayaan diriku, tiba-tiba tanpa aba-aba, dia hadir lagi? Bajingan!

Oh iya, bicara soal akun media sosial, pada hari itu juga akhirnya aku mengabulkan permintaan pertemanan darinya. Iya, cemen sekali. Tapi aku merasa butuh mencari jawaban dari begitu banyaknya pertanyaanku. Dan apa sumber terbaik untuk mendapatkan jawaban selain dari media sosial? Celakanya, akun media sosial miliknya dikunci, mau tak mau, aku harus mengabulkan permintaan pertemanannya.

Pernahkah kalian menghabiskan hari hanya dengan berkutat pada gawai di tangan hanya karena kepo dengan seseorang? Begitulah keadaanku pada hari itu. Untungnya tak banyak yang harus kukerjakan di kantor, dan tak ada acara apapun sepulang kerja. Dalam sekejap, aku jadi tahu bahwa mantanku telah menikah dengan lelaki yang sama yang membuat hubunganku putus. Aku juga tahu bahwa dari pernikahannya, mereka tak dikaruniai anak. Dan sedihnya, aku jadi tahu bahwa 4 bulan lalu, suaminya meninggal karena sakit.

Dan, ajaib, semua perasaan kecewa dan marah yang sebelumnya aku sendiri tidak ketahui kalau aku memilikinya, sirna begitu saja. Dalam satu hari, perasaanku betulan terombang-ambing. Roller coaster perasaan.

Aku kasihan kepadanya. Meski selepas aku darinya, aku sempat beberapa kali berpacaran dengan orang lain, dialah wanita yang teristimewa. Dua pacarku pun memutus tali kasih kami dengan alasan aku belum move on. Meski nampak mengada-ada dan terlalu dibesar-besarkan, alasanku belum juga menikah sampai saat ini juga karena aku belum beruntung menemukan wanita yang seperti dia lagi.

Dia masih cantik seperti dulu. Aku tahu foto yang dipajang di media sosial itu foto-foto pilihan yang tentu saja sudah diedit dengan aplikasi tambahan agar nampak wah, tapi akupun berpendapat yang sama, bahwa dia masih cantik, ketika sepintas aku melihatnya seperti yang kutulis di atas.

Sialan. Kenapa dia cantik sekali? Enyahlah duhai engkau rasa hangat di dadaku!! Enyah!

Tapi tetap saja aku berselancar di media sosial miliknya. Menatap lekat wajahnya. Cantik luar biasa. Apa mungkin aku sudah gila? Sia-sia sudah semua usahaku membangun kembali hidupku dalam kurun waktu 6 tahun belakangan. Aku kembali terpuruk oleh wanita yang sama. Eh, tunggu!

Aku lihat, hampir di semua fotonya, dia selalu mengenakan gelang emas yang sama. Gelang emas yang sejak kuliah dia pakai. Gelang emas dariku! Gelang yang sama yang kubelikan dengan cara menyisakan uang jajanan bulananku. Tak salah lagi!

Usahaku mencari jawaban atas banyak pertanyaan di kepala rupanya malah menimbulkan lebih banyak tanya. kenapa dia masih memakai gelang itu? Apakah dia memakainya karena menganggap gelang itu istimewa? Apakah dia ingat aku? Apakah gelang itu dia pake karena itu hadiah dariku? Apakah dia menyesal memutuskanku? Apakah dia masih mencintaiku? Setan alas! Oalah tobil… tobil!

“Hei, akhirnya di-approve juga setelah sekian lama. Makasih ya, kamu apa kabar?”

Kalian tentu bisa menebak, siapa yang menulis kalimat di atas. Kalimat yang kubaca berulang-ulang di layar ponselku. Perasaan apa ini namanya. kenapa rasanya persis sama dengan ketika aku pertama melihatnya di acara kampus dulu?

Beberapa jam kemudian, akhirnya kubalas pesannya. Kucoba setenang mungkin. Kuketik, kuedit, kuhapus….begitu terus berulang-ulang hingga akhirnya kutemukan diksi dan narasi yang tepat. Tak boleh nampak terlalu antusias, namun jangan pula keliatan tak peduli. Harus tepat.

Kukatakan bahwa karena aku melihatnya saat berangkat ke kantor, makanya berujung bertkawan di media sosial. Penasaran saja, dalihku. Dia tertawa, dalam bentuk tulisan.

Aku lalu mengucapkan bela sungkawa, karena dari unggahannya, aku tahu suaminya belum lama meninggal. Kami lalu bertukar nomor, agar lebih leluasa ngobrol.

Dia bercerita soal sakit yang diderita mendiang suaminya. Dari pelantang ponselku, aku bisa merasakan sakit di hatinya ketika menceritakan kematian suaminya. Apakah ini cinta sejati? Karena aku hampir ikut menangis karenanya. Bangsat benar.

Aku benci perasaanku sendiri.

“Eh, kamu kalau makan siang di mana? Kantor kita kan satu komplek. Ketemuan yuk! Kangen. udah berapa tahun coba? Empat tahunan, kan?”

Iya, jawabku. Untuk apa harus kukoreksi? Kusanggupi juga untuk bertemu saat makan siang besok di sebuah kantin yang agak jauh dari kantorku.

Terima kasih sudah membaca tulisanku ini hingga di titik ini. Betulan! Aku tak punya siapa-siapa untuk bercerita, makanya kutulis saja. Kalian mau tahu bagaimana kelanjutan kisahku tadi?

Keesokan harinya, kami berjumpa. Aku hadir 22 menit sebelum jadwal yang kami sepakati. Semalaman sudah kulatih diriku ini, bagaimana cara berjalan, bagaimana cara bersikap di depannya nanti, dan membahasa apa saja. Aku mematut diri di depan cermin yang sampai kulap terlebih dahulu agar bersih dan jernih. Aku tak boleh kelihatan culun, apalagi nampak terlalu bahagia dengan pertemuan kami, itu saja yang kuulang-ulang dalam hatiku.

Semakin dekat dengan perjumpaan dengannya, makin gelisah. Buyar sudah segala geladi resik yang kulakukan sebelumnya. Aku panik. Makin panik ketika aku melihat dia datang menuju ke arahku. Dia mengenaliku juga dari kejauhan, buktinya, dia melambaikan tangan ke arahku. Bagaimana ini?

“Hai..”
“Hai… Apa kabar kamu, Mas?”

Sejak kapan aku menjadi “Mas” baginya? Ah, bodo amat. Tak dinyata tak diduga, obrolan berjalan mulus dan lancar. Rupanya seperti lama tak naik sepeda, meski kaku, karena sudah pernah bisa, maka lancar saja kemudian. Ngeklik.

Ketika dirasa tepat, akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan perihal gelang yang tak hanya selalu nampak dipakai di semua foto media sosialnya, namun juga dipakainya saat bertemu denganku.

“Wah, rupanya gelangnya masih dipakai juga ya?”
“Gelang? Oh, gelang ini? Iya. Aku suka banget ama gelang ini, soalnya.”

Jantungku seperti keteteran memompa darah.

“Hahahaha. Emang bagus. Siapa dulu yang milih? Aku.”
“Lho, emang ini kamu yang beli? Bukan ah!